18 November 2014

Ke depan... gih, sana!

People change. They do. Pernah ngga sih lo berpikir bahwa "Aku masih seperti yang dulu" tuh ngga masuk akal? Ngga ada ceritanya bahwa kita adalah orang yang sama selalu. Kita berubah. Setiap saat kita berubah. Bertambah tua, setidaknya.
Dulu saudara gue punya sahabat. Lengket banget. Udah kayak merpati giring, kemana-mana berdua. Kegiatan apapun selalu sama-sama. Sampai akhirnya sesuatu terjadi dan mereka pun bercerai. "Abis dia berubah sih. Ngga kayak dulu", katanya.
Setiap orang pada suatu titik dalam hidupnya harus menyadari bahwa dia bukan orang yang sama lagi. Mungkin bisa saat terjadi suatu peristiwa atau saat dia lagi dalam suasana sehari-hari yang menjenuhkan.
Gue, misalnya, sedang melihat anak-anak gue saat gue sadar bahwa realita gue udah berubah. Gue bukan lagi "kak Patsy", sekarang kemana-mana gue pasti dipanggil "Bu" atau kalo sama SPG sok kenal dipanggilnya "Bunda" (sebenernya gue ngga suka banget dipanggil Bunda, tapi ini bahan cerita di hari lain). Gue ngga mengajar anak-anak remaja dengan berbagai persoalan dan latar belakang lagi, tapi mengajar 2 bocah kecil yang sama setiap harinya. Gue berubah dari tante single yang baik hati, favorit semua anak, jadi "mommynya J&R yang galak". Memang. Jadi galak. Kemudian gue sadar kalo gue bukanlah orang yang sama lagi.
Makanya gue jadi sebel kalo ada yang becandaan pake " Dulunya...". Karena gue percaya hidup itu selalu memandang ke depan. Ya, memang ada kalanya kita sesekali menengok ke belakang. Untuk belajar dari kesalahan, untuk bersyukur atas situasi yang membentuk kita, untuk mencari pijakan saat kita hendak melangkah ke atas lagi. Tapi ngga berarti kita terkungkung dengan kejayaan masa lalu, bahkan terpenjara karena muramnya hal-hal yang telah terjadi dulu.
Gue belajar bahwa masa lalu itu cukup dilirik, sesekali ditengok. Tapi tidak dihampiri. Hanya sebagai referensi untuk terus maju ke depan. Karenanya gue mau terus maju dan melangkah. Gue mau jadi "orang yang lebih baik lagi" seperti kalimat favorit orang-orang. Gue harus lebih dari sekarang. Karena anak-anak membutuhkan gue yang sekarang, bukan gue yang dulu.
I wanna keep moving forward.

05 August 2014

Dua bunda

Ibu.
Begitulah pekerjaan mereka. Mengasuh, mendidik, mengajar, memeluk, mencium, memberi semangat, mengkritisi, membenarkan, mengoreksi, hanya sebagian kecil dari pekerjaan mereka.

Dua.
Lahir di tanggal yang sama. Tepat setahun bedanya.
Sama kerasnya, beda dunianya.
Sama perhatiannya, beda targetnya.
Sama kerja kerasnya, beda kegemarannya.
Sama keras musiknya, beda alirannya.
Sama hati memberinya, beda pemberiannya.
Sama keras hidupnya, beda prioritasnya.
Sama penuh cintanya, beda panggilannya.

Mommy. Mama.
Keduanya Bunda ku.

30 June 2014

Together Forever

"... setia mendampingi dalam susah maupun senang, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya, duka maupun suka, sampai maut memisahkan..."

Awwww... Bersama selamanya... Indah ya? Setelah pacaran lama, lalu menikah, lalu bersama selamanya. Seperti cerita dalam film-film itu lho... Sayangnya kenyataan tidak berkata demikian. Gue pacaran 6 tahun lebih, lalu menikah sudah 3 tahun. "Bersama selamanya" adalah salah satu yang gue harapkan setelah (akhirnya) gue menikah setelah bosen ditanyain melulu sama orang-orang. Setelah menikah gue berharap makin mesra, makin kasmaran, makin lengket sama suami.
Ternyata ngga lho. Setelah menikah, lalu langsung hamil, lanjut punya anak, lalu anak kedua, seakan-akan waktu ngga memberi celah buat kami mesra-mesraan. Suami kerja makin giat karena makin banyak mulut yang harus dikasih makan. Gue, yang sedari awal ngotot mau nyusuin sampe dua tahun dan ngga mau punya babysitter, sibuk sama anak-anak. Dari bangun, nyusuin, suapin, mandiin, cebokin, semuanya gue yang urus. Mungkin hampir setiap jengkal badan anak gue, gue kenal. Tapi suami? Hmmm....
Dulu, jaman pacaran, setiap hari gue sama suami smsan (belum punya hp canggih yang bisa BBM, Line, Whats App, dll). Kalo bisa tiap jam gue sms, gue smsin deh. Sekarang, mana sempat? Baru si kecil selesai nyusu, bungnya numpahin air, bungnya selesai makan, yang kecil minta digendong. Hectic. Dulu kalo punya kesempatan pasti gue sempetin ketemu laki gue buat mesra-mesraan, semua waktu gue buat dia. Sekarang mana bisa? Setiap ada waktu kosong bawaannya kalo ngga mau mandi, mau istirahat, mau pegang hp, mau tidur.
Setelah semuanya ini baru gue tau, kenapa banyak orang yang cerai. Banyak yang bilang "tidak ada kecocokan lagi'. Karena setelah sibuk sendiri, memang seakan-akan kita ngga kenal pasangan lagi. Gue ngga tau dia ngajar apa aja hari ini, dia ngga tau bung J - baby R ngapain aja hari ini. Gue ngga tau dia sama temen-temennya ngomongin capres atau piala dunia atau siapa yang mereka dukung, dia ngga tau gue berapa kali jerit sama bung J supaya ngga gangguin baby R pas lagi tidur. Belum lagi ngga tau kalo masing-masing pergi, di jalan ada apa. Bisa sih cerita, tapi seberapa lengkap cerita kita? Bisa ngga ngisi cerita kita sampai ke apa yang kita rasain?
Lalu bagaimana? Ya begitu deh... Ya tentu disinilah yang namanya usaha. Ternyata usaha ngga hanya waktu lo berusaha deketin dia di kampus, atau usaha supaya dia cepet nembak, usaha biar ngga putus, usaha biar dia cepet ngelamar (hahaha... sounds ngenes?), tapi juga usaha mempertahankan cinta yang udah ada. Mempertahankan kasih yang kita kumandangkan sejak jaman pedekate.
Kadang kita bisa usaha sendiri, kadang kita butuh bantuan. Bantuan gue bernama "grand-grandnya bungJ-babyR" Hehehe... Grandpa, Granny, dan Granddad, yang setia nemenin atau gendong bungJ-babyR sementara mommy-daddynya sekedar pegangan tangan atau makan bareng. We never had (or desperately need) fancy dinner or a night out (yet?). Sekedar pengorbanan kecil-kecil setiap hari ada aja artinya. Mungkin bikinin mi goreng buat suami walau badan rentek abis nyusuin, atau pijitin pinggang gue yang mau rontok walau dia baru aja selesai ngelatih basket dengan materi passing-shooting.
It takes two to fall in love. Perjalanan masih panjang. Selama kita masih sama-sama berusaha untuk tetap saling mencintai, "sampai maut memisahkan" bukan tantangan besar...
Happy 3rd anniversary dear...

15 May 2014

Fight to Survive

I always consider myself a late bloomer. Gue dewasa sangat terlambat, menurut gue. Walaupun gue udah jalan kemana-mana, gue baru merasa menemukan diri gue setelah menikah, punya anak. Banyak hal yang gue rasa gue lewatkan dan terlanjur ngga bisa kembali.
Setelah menikah gue melihat kembali kehidupan gue, dan gue menyadari banyak hal yang gue pikir udah gue jalani maksimal ternyata belum. Hal-hal yang gue pikir sudah keterlaluan, ternyata bahkan belum lewat batas. Dan yang lebih bikin gue merenung, ada hal-hal yang gue pikir udah gue selesaikan ternyata belum selesai.
Gue terlalu mudah percaya sama orang. Dan kalau gue udah percaya sama orang, gue akan mengabaikan orang lain. Orang pertama yang gue anggap benar akan jadi pegangan gue dan orang lain akan selalu salah dimata gue. Untuk itu, ada harga yang harus gue bayar. Gue kehilangan banyak kesempatan. Gue kehilangan banyak peluang. Hanya karena pendapat orang tertentu. Yang seharusnya gue bisa melebarkan sayap, pandangan gue jadi sempit. Gue ngga mau itu terjadi sama orang-orang muda yang gue sayangi. Gue berharap ngga akan jadi halangan buat mereka maju, gue mau jadi batu loncatan mereka. Supaya mereka ngga jadi seperti gue yang kehilangan peluang-peluang yang bisa merubah hidup mereka.
Lagipula gue juga terlalu malas. Gue terbiasa untuk ngga menghargai perubahan. Gue orang yang memegangn teguh sebuah tradisi. Bukannya itu hal yang jelek, tapi itu mengekang gue untuk berinovasi. GUe terlalu terpaku sama masa lalu dan sulit sekali menatap ke depan. Kejayaan masa lalu adalah masa lalu, harusnya gue menatap ke depan. Akhirnya gue terpenjara di masa lalu. Dan seperti batu ditengah-tengah sungai, gue ngga kemana-mana. Disitu aja. Terlalu sering gue bilang "Dulunya ..." dan itu terlalu banyak menghambat gue. Gue ngga ngga mau orang-orang muda yang gue sayangi terpaku sama masa lalu. Mereka harus menatap ke depan dan melangkah.
Dan yang terakhir, gue terlalu manja. Gue terbiasa mau enaknya dan sulit bertarung. Hidup gue bisa dibilang mudah. Dan kalau ngga dibilang mudah, maka gue akan memudahkannya untuk diri gue sendiri, gue lari dari masalah. Hal-hal yang harusnya gue selesaikan, gue tinggalkan. Hal-hal yang seharusnya gue perjuangkan, gue abaikan. Akhirnya gue ngga jadi apa-apa. Gue terlalu lemah untuk bertarung untuk masa depan gue, dan memilih menyerahkannya pada keadaan.
Setelah punya anak, pandangan gue banyak berubah. Gue mau mengajar anak-anak gue bahwa hidup itu ngga mudah. Bahwa benjol, memar, berdarah, kurang tidur, sakit, itu bagian dari hidup. Gue mau mereka jadi kuat untuk bertarung dan berjuang dalam hidup. Gue mau mereka belajar bahwa hidup itu ngga selamanya enak. I want them to learn that in this life, they have to fight to survive.