15 May 2014

Fight to Survive

I always consider myself a late bloomer. Gue dewasa sangat terlambat, menurut gue. Walaupun gue udah jalan kemana-mana, gue baru merasa menemukan diri gue setelah menikah, punya anak. Banyak hal yang gue rasa gue lewatkan dan terlanjur ngga bisa kembali.
Setelah menikah gue melihat kembali kehidupan gue, dan gue menyadari banyak hal yang gue pikir udah gue jalani maksimal ternyata belum. Hal-hal yang gue pikir sudah keterlaluan, ternyata bahkan belum lewat batas. Dan yang lebih bikin gue merenung, ada hal-hal yang gue pikir udah gue selesaikan ternyata belum selesai.
Gue terlalu mudah percaya sama orang. Dan kalau gue udah percaya sama orang, gue akan mengabaikan orang lain. Orang pertama yang gue anggap benar akan jadi pegangan gue dan orang lain akan selalu salah dimata gue. Untuk itu, ada harga yang harus gue bayar. Gue kehilangan banyak kesempatan. Gue kehilangan banyak peluang. Hanya karena pendapat orang tertentu. Yang seharusnya gue bisa melebarkan sayap, pandangan gue jadi sempit. Gue ngga mau itu terjadi sama orang-orang muda yang gue sayangi. Gue berharap ngga akan jadi halangan buat mereka maju, gue mau jadi batu loncatan mereka. Supaya mereka ngga jadi seperti gue yang kehilangan peluang-peluang yang bisa merubah hidup mereka.
Lagipula gue juga terlalu malas. Gue terbiasa untuk ngga menghargai perubahan. Gue orang yang memegangn teguh sebuah tradisi. Bukannya itu hal yang jelek, tapi itu mengekang gue untuk berinovasi. GUe terlalu terpaku sama masa lalu dan sulit sekali menatap ke depan. Kejayaan masa lalu adalah masa lalu, harusnya gue menatap ke depan. Akhirnya gue terpenjara di masa lalu. Dan seperti batu ditengah-tengah sungai, gue ngga kemana-mana. Disitu aja. Terlalu sering gue bilang "Dulunya ..." dan itu terlalu banyak menghambat gue. Gue ngga ngga mau orang-orang muda yang gue sayangi terpaku sama masa lalu. Mereka harus menatap ke depan dan melangkah.
Dan yang terakhir, gue terlalu manja. Gue terbiasa mau enaknya dan sulit bertarung. Hidup gue bisa dibilang mudah. Dan kalau ngga dibilang mudah, maka gue akan memudahkannya untuk diri gue sendiri, gue lari dari masalah. Hal-hal yang harusnya gue selesaikan, gue tinggalkan. Hal-hal yang seharusnya gue perjuangkan, gue abaikan. Akhirnya gue ngga jadi apa-apa. Gue terlalu lemah untuk bertarung untuk masa depan gue, dan memilih menyerahkannya pada keadaan.
Setelah punya anak, pandangan gue banyak berubah. Gue mau mengajar anak-anak gue bahwa hidup itu ngga mudah. Bahwa benjol, memar, berdarah, kurang tidur, sakit, itu bagian dari hidup. Gue mau mereka jadi kuat untuk bertarung dan berjuang dalam hidup. Gue mau mereka belajar bahwa hidup itu ngga selamanya enak. I want them to learn that in this life, they have to fight to survive.