07 November 2015

This Village for My Children

Dulu waktu gue baru punya anak rasanya sombong banget. Cari-cari ilmu di buku, di internet, belajar apa kata para ahli dan para pakar, pokoknya cari ilmu sebanyak-banyaknya dari luar. Salah? Ngga juga sih. Tapi, ya gitu, gue jadi sombong. Ga mau dengar pendapat orang deket, ga mau anak gue dipegang orang lain, apa lagi kalo orang itu udah punya anak terus karakter anaknya ngga sesuai yang gue mau. Hih, jauh-jauh deh. *buang napas dari idung* *upilnya mental*
Sekarang anak gue dua. Gue baru sadar ternyata pepatah Afrika yang bilang "It takes a village to raise a child" itu bener. Karena gue juga manusia, bisa capek, bisa emosi, bisa khilaf, kadang-kadang juga bisa gila. Dan saat itu siapa yang "raise" anak-anak gue? My "village", of course. Keluarga, tetangga, teman, dan orang-orang di sekitar kami.
Waktu gue sadar akan hal itu, rasanya kayak ditabok (pake sendal jepit sama Agung Hercules). Baru sadar gue ga bisa menciptakan dunia ideal buat anak-anak gue. Mereka akan tumbuh sesuai dengan situasi yang ada.
Yaaaahhh batal dong gue membentuk mereka sesuai yang gue mau? Ngga juga sih. Tetap aja sebagai orang tua gue harus jadi pagar dan filter terdepan buat mereka. I'm sending them to the right village. Gue ga bisa melarang mereka informasi masuk ke mereka, tapi gue bisa mengarahkan mereka untuk mencari sumber informasi yang valid. Gue ga bisa melarang mereka main, tapi gue bisa mencari permainan yang baik buat mereka. Yang jelas gue berusaha memastikan bahwa dasar yang mereka bangun itu kuat. Lalu biarkan mereka membangun diri mereka sendiri, mungkin jadi rumah, rumah panggung, gedung pertunjukkan, gelanggang olahraga, condotel, apa pun itu. Saatnya nanti, mereka akan jadi "village" untuk anak-anak lainnya.