05 February 2016

A Great Mom

BRAKK!
Pagi-pagi pintu dibanting kencang lalu terdengar langkah kaki kecil menghampiriku yang sedang mencuci piring di dapur.
Tuk tuk tuk tuk... "Mmpain Mami?"
Berarti yang kecil. Aman. Yang besar tidurnya sangat pulas, nggak akan bangun walau pintu dibanting, karena adiknya belum bisa tutup pintu pelan-pelan. Tapi tetap aja itu pintu rumah tua, rasanya tetap aja kesel. Ditambah cucian piring banyak sekali, capek, lalu di samping udah ada cucian yang menggunung, belum ke pasar, masak, belum ngepel rumah, terus ini anak kok udah bangun aja. Astaga... Mau meledaaaakk!!!

----------

Begitulah sehari-hari di rumah gue. Jadi ibu rumah tangga. Kerjaan yang ngga ada liburnya, ga ada tunjangan, ga ada bonus, ga ada jenjang karir, plus ga bisa resign. Memang kalo di dongeng, film, cerita, apalagi iklan, jadi ibu itu indah sekali. Tapi jadi ibu di iklan sama jadi ibu beneran itu jauh berbeda.
Di iklan, main air sama bayi itu bahagia sekali soalnya ngga ada bagian ibunya ngambil sabun dua detik, anaknya kepeleset terus benjol, dan sebulan penuh ibunya menanggung label "ibu lalai yang membiarkan anaknya jatoh di kamar mandi" tiap ada orang nanya itu benjolnya kenapa. Di iklan, pakai popok itu menyenangkan, karena ga ada adegan anaknya kabur terus pipis di karpet. Di iklan, punya anak dua ibunya dicium kanan-kiri, bukan tonjok-tonjokan berebut mobil hijau padahal di sekitarnya ada dua puluh lebih mobil merah, biru, jingga, hitam, dan warna-warni lainnya.
What's my point? Jadi ibu itu ngga enak? Bukan. Bukan ngga enak, tapi sulit. Sulit sekali. Ditambah masyarakat yang menuntut kesempurnaan seorang ibu. Foto-foto ibu yang kreatif, ibu yang anaknya homeschool, ibu yang rajin memasak makanan bergizi dan rumahnya bersih kinclong, ibu wanita karier yang masih ASI eksklusif, ibu sosialita cantik yang aktif berorganisasi sosial, dan ibu-ibu hebat lainnya bertebaran di media sosial. Rasanya kok mereka hebat sekali. Lah gue? Emak2 dasteran yang bau keringet abis nyuci-masak lalu maksa anak tidur siang cuman biar bisa sejam main game atau baca buku. Jam istirahat itu namanya.
Saya mah cuma ibu biasa. Beneran, ibu-ibu biasa aja, yang anaknya makan junk food buat dapetin mainannya, yang suka ngomel kalo banyak kerjaan lalu anak-anak kompakan bikin rumah kayak kapal pecah, yang membiarkan anak main suka-suka mereka berdua selama itu artinya mommy bisa masak atau nyetrika dengan bebas merdeka. Kadang media sosial bikin gue minder, sepertinya kok gue tertinggal sekali dengan ibu-ibu hebat tersebut.
Lalu suatu saat gue memutuskan untuk iseng cek apa aja yang udah gue posting di media sosial. Ternyata? Wah sama... anak gue tersenyum gembira (ngga terlihat dipaksa foto sama mommynya), jalan-jalan liburan keluarga (tanpa drama anak BABnya bleber di tengah jalan), pekerjaan tangan anak yang bikin bangga (yang sebenarnya nyiapinnya pake begadang dulu), semuanya terlihat "baik-baik saja". Pencitraan? Mungkin. Tapi gue jadi sadar bahwa ngga semua yang gue liat di media sosial terjadi persis seperti yang gue bayangkan, dan disamping segala kesulitan yang gue alami sebagai ibu ternyata lebih banyak sukacita yang gue alami bersama dua jagoan neon gue (meletin lidah berwarna). Gue belajar bahwa media sosial itu hanya sekilas dari yang dialami ibu-ibu hebat tersebut. And maybe, juuuusst maybe, somewhere out there, someone is watching me and mentioning me as another "ibu hebat" (pede geeelaa gueh). Sebagai ibu hebat, tentu dengan sadar diri gue harus meng-upgrade diri gue. Cita-citanya adalah suatu saat nanti, postingan gue yang selalu bahagia itu bukan cuma pencitraan tapi benar-benar hidup gue yang sebaik-baiknya menjadi inspirasi untuk ibu-ibu lainnya.
Pada akhirnya, setiap ibu punya kesulitannya sendiri, dan setiap ibu mau yang terbaik buat anaknya. We learn from another great mothers to become another great mothers. Mari, berjuanglah ibu-ibu... percayalah, kita semua adalah ibu-ibu hebat.

No comments:

Post a Comment