13 February 2016

Karena Suap-suapan

Ahhh baru aja nonton video pernikahan seorang selebriti di youtube. Megah, ramai, cantik, penuh bunga-bunga, rame sama artis. Beberapa hari yang lalu juga sempat liat foto-foto nikahan gue. Ngga begitu megah, ngga begitu ramai, biasa aja, penuh makhluk kelaparan (isinya anak basket, sama anak dance yang doyan ngemil). Hahaha... tapi tetap indah.
Ada satu hal yang tiba-tiba menarik perhatian gue: acara suap-suapan. Jarang sekali pernikahan di Indonesia ini absen dari acara suap-suapan, baik pernikahan tradisional maupun pernikahan internasional (seperti gue). Kenapa menarik? Gue jadi ingat si MC yang gemulai itu berkata, "suapan ini menjadi tanda kasih dan saling melayani". I repeat, "TANDA KASIH dan SALING MELAYANI". Pertanyaannya, apakah dalam pernikahan ini kami sudah saling melayani?
Gue ngga akan masuk ke pembahasan relijius soal ini, tapi yang umum-umum aja. Selama ini kan yang sering terdengar itu "istri melayani suami", baik kebutuhan rohani, jasmani, maupun seksual. Bagaimana dengan suami? Menurut gue pelayanan suami kepada gue itu tokcer banget. Maksudnya begini, dia melayani gue secara finansial (alias menafkahi gue dan anak-anak), lalu secara jasmani juga dengan menyediakan tangan untuk membantu pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak juga, lalu juga di tempat ti........... okeh yang itu ga perlu dibahas. Kesimpulannya, selain gue yang melayani suami (obviously) ternyata suami juga melayani gue. Berarti fix, suap-suapan gue menjadi simbol yang dari apa yang benar-benar kami lakukan dalam rumah tangga.
Bagaimana suapan lainnya? Yup, selain saling menyuapi, di resepsi pernikahan, kami juga menyuapi orang tua kami. Sama, simbol dari pelayanan. Lalu apa kami sudah melayani orang tua kami sebaik-baiknya? Sebenarnya tanpa perlu simbol apapun, melayani orang tua adalah kewajiban. Memang ngga ada orang tua yang sempurna, begitu juga dengan orang tua kita. Gue dan suami juga kadang suka bercanda tentang sikap dan sifat orang tua kami yang lucu karena sudah ngga sesuai jaman. Tapi apa yang telah beliau-beliau lakukan buat kami sungguh tidak ternilai. Walaupun terkadang ada hal-hal yang kurang berkenan di hati kami tentang orang tua kami alias ngga sreg, kami tetap berusaha melayani mereka sesuai kemampuan kami. Sekeras apapun kami berusaha tetap tidak akan bisa membalas apa yang telah mereka lakukan untuk kami, anak-anaknya.
Bukankah hidup dalam pernikahan itu memang kodratnya melayani? Setidaknya itu yang masih dipegang oleh masyarakat kita. Toh kalau kita saling melayani maka keegoisan kita makin lama makin terkikis dan kita bisa hidup lebih damai sejahtera dengan orang-orang yang kita sayangi bukan? Kan? Kan?

No comments:

Post a Comment